Jokowi Harusnya Fokus Awasi Utang, Tidak Terlalu Mendramatisir Saracen
SatuNegeri.net - SAYA mengamati pengungkapan kasus
saracen yang akhir-akhir ini yang marak diberitakan oleh media-media yang ada
di Indonesia.
Media memberitakan pesawat Saracen adalah
sebuah sindikat yang besar dengan 800.000 akun yang kerjaannya menyebarkan
kebencian menggunakan SARA dan juga menyebarkan gambar-gambar yang menghina
presiden.
Menurut saya kasus SARACEN sebenarnya
kasus biasa-biasa saja. Sebab pembentukan opini melalui sosial media sudah
berlangsung sejak tahun 2014 lalu.
Bahkan bukan social media saja yang secara
masif mewartakan berita-berita yang memiliki tujuan tertentu, tidak kalah
dustanya media maintream juga melakukan hal yang sama, seringkali mengeluarkan
berita yang menguntungkan satu pihak dan juga sekaligus merugikan pihak lain.
Sejak tahun 1998 pemberitaan hoax juga
sudah terjadi dimana masyarakat di giring opininya seolah-olah Prabowo Subianto
yang kejam yang di persepsikan sebagai otak pelaku kerusuhan 98, namun
kenyataannya tuduhan itu tidak terbukti dan dalang kasus pelanggaran HAM tahun
1998 hingga saat ini masih belum terungkap.
Masyarakatpun selama ini tahu bahwa
media-media mainstream seringkali memanipulasi berita untuk tujuan-tujuan
tertentu. Berita yang disajikan pun tergantung dari Para pemilik media yang
selama ikut-ikutan berpolitik memeromtahkan pimpinan redaksinya memuat berita
yang tidak netral.
Kompas, Metro TV, detik.com, BeritaSatu,
dicurigai sebagai media yang pro kepada pemerintahan dan anti kepada kelompok
Islam.
Tentunya kita masih ingat kejadian
reporter Metro TV yang diusir oleh kerumunan pendemo dalam peristiwa 212,
reporter Metro Tv diteriaki oleh pendemo sebagai Metro Tipu. Julukan Metro Tipu
muncul akibat Metro TV tidak mewartakan berita secara seimbang dan bahkan
seringkali memelintir berita untuk kepentingan tertentu. MetroTV Dianggap
sebagai media televisi yang sering memberitakan berita bohong atau hoax.
Selain stasiun televisi yang memberitakan
berita hoax ada juga media online yang selama ini sering menghina pihak-pihak yang
tidak Pro kepada pemerintah. Contohnya seperti seword.com dan Gerilyapolitik.
Mereka juga seringkali mengumbar hal-hal
yang berbau sara di sosial yang menghina tokoh-tokoh Islam. Namun sayangnya
pihak kepolisian sampai dengan saat ini tidak pernah menangkap redaktur
seword.com maupun Gerilyapolitik. Padahal sebenarnya pemilik seword.com pernah
mengungkapkan bahwa ia merupakan penulis freelance dengan berita-berita yang
kontroversial yang juga dibayar oleh pihak pihak ketiga.
Saya berharap presiden Jokowi tidak perlu
mendramatisir kasus saracen, berhentilah mencari kambing hitam, fokus kepada
hal-hal yang lebih penting. Dalam dua setengah tahun hutang Indonesia bertambah
1000 triliun sebaiknya Jokowi lebih fokus mengawasi penggunaan hutang tersebut.
Coba bayangkan jika hutang sebesar itu
dikorupsi 5 persen saja kerugian negara bisa mencapai 50 triliun. Kasus saracen
kasus sepele tidak perlu dibesar-besarkan. Dan saya minta polisi jangan terlalu
mudah menangkap pegiat sosial media karena bisa menimbulkan perasaan takut
dalam berekspresi di tengah era digital seperti saat ini.
Jika Dianggap halaman Facebook
membahayakan diblokir saja tidak perlu ditangkap atau dicari-cari lagi
orang-orang yang tergabung di dalam Facebook tersebut karena hanya buang-buang
waktu saja.
Bastian P Simanjuntak
Post a Comment